
14 Okt Haruskah Mencari Tanda?
Senin, 14 Oktober 2019
Lukas 11: 29-32
Haruskah Mencari Tanda?
Bacaan Injil hari ini mengingatkan saya setiap kali menemani para retretan di Civita Youth Camp. Mulai dari anak SD—SMP—SMA, semuanya berusaha mencari identitas mereka Who Am I? Sebagai pendamping saya memposisikan diri sebagai pihak ketiga yang adalah sebagai petunjuk jalan dan cermin. Allah dan diri sendiri adalah yang utama di dalam pergumulan retret.
Sesi membaca surat dari orang tua dan sesi membalas surat orang tua adalah sesi yang selalu menyentuh buat saya sebagai pendamping. Terkadang anak-anak tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sudah sungguh-sungguh dicintai oleh orang tua di dalam hidup harian. Namun, kerap mereka tidak bisa menyadari hal itu—yang diingat hanyalah orang tua yang selalu marah, cerewet, dsb. Surah dari orang tua menjadi tanda uangkapan kasih terhadap anak—mereka mulai menitikan air mata dan mulai merasakan bahwa ayah ibu sungguh mencintai mereka. Setelah mereka membaca surat itu, mereka menulis surat balasan untuk orang tua yang intinya mereka juga amat mencintai orang tua.
Hari ini melalui Injil Lukas, kita sebenarnya laksana anak-anak itu yang kerap tidak menyadari kasih Allah yang sudah hadir di dalam pribadi Yesus. Kita selalu meminta dan meminta tanda bahwa jika Allah baik—Allah harus memberikan tanda sesuai yang kumau. Apakah itu hal seperti itu patut dibenarkan?
Berkaca dari kisah anak-anak di rumah retret Civita dan Injil Lukas ini—saya ingin mengajak teman-teman untuk melihat lebih jeli jejak-jejak atau karya Allah yang hadir di dalam diri kita. Mungkin kita yang tidak terlalu peka atas hal ini. Marilah mulai hari ini kita memohon rahmat Tuhan untuk membuat diri kita semakin peka terhadap kehadiranNya sehingga kita tidak melulu meminta tanda. Amin.